A. Pendahuluan
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pahlawan nasional yang banyak memberikan
konstribusi pada dunia pendidikan Islam di Indonesia ini. Ia seorang da’i
sekaligus organisatoris Islam yang mampu mewujudkan suatu sistem lembaga Islam
yang terpadu yang hasilnya kini dikembangkan terus oleh para generasinya.
Nama Ahmad Dahlan bukanlah nama yang asing dalam dunia pendidikan, ia lebih
banyak dikenal orang sebagai pendakwah atau pembaharu sosial budaya di
Indonesia. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri, ia telah memberikan
nilai-nilai yang berharga pada pendidikan Islam agar dapat selangkah lebih maju
dengan orang-orang Eropa, contohnya dengan lahirnya lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang sampai saat ini tetap exist dan qualified.
Dalam dunia pendidikan, ada beberapa ciri ideologi-ideologi mendasar yang
diterapkan oleh KH. Ahmad Dahlan yang mungkin berbeda dengan para tokoh
pendidikan lainnya. Berikut ini saya jabarkan sembilan tema mendasar dari
ideologi yang digunakan oleh KH. Ahmad Dahlan.
B. Ciri Ideologi Pendidikan KH. Ahmad Dahlan dalam
Sembilan Tema Mendasar
1. Tujuan Pendidikan
KH. Ahmad Dahlan berusaha mengembalikan ajaran Isam pada sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Beliau bertujuan meluaskan dan
mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, beliau mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh
Indonesia.
KH. Ahmad Dahlan
menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari
tujuan-tujuan pendidikan. Beliau berpendapat bahwa tak seorang pun dapat
mencapai kebesaran di dunia ini dan diakhirat kecuali mereka yang memiliki
kepribadian yang baik. Seseorang yang berkepribadian baik adalah orang yang
mengamalkan ajaran-ajaran Al
Quran dan Hadits. Beliau juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali
siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai
kemajuan materil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup.
Menurut KH. Ahmad
Dahlan, bahwa pandangan muslim tradisionalis selalu menitikbertakan pada aspek
spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Sikap semacam ini mengakibatkan
kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia Islam, sementara kelompok yang lain telah
mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. KH. Ahmad Dahlan terobsesi dengan
kekuatan sistem pendidikan Barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah
misionaris maupun pemerintah. KH. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan
materil merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteraan mereka akan
bisa sejajar dengan kaum kolonial.
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan
pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendididkan pesantren hanya
bertujuan untuk menciptakan individu yang sholeh dan mendalami ilmu agama.
Sebaliknya pendidikan model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang di
dalamnya tdak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan
huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub
intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai
ilmu umum, dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak
menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut, beliau berpendapat bahwa tujuan pendidikan
yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh: menguasai ilmu agama dan
ilmu umum, material dan spiritual, serta dunia dan akhirat. Baginya kedua hal
tersebut merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa seorang KH. Ahmad Dahlan memiliki
sifat liberasionisme dalam tujuan
pendidikannya. Dinama sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikan yaitu
mendorong pembaharuan/ perombakan sosial yang perlu dengan cara memaksimalkan
kebebasan personal di sekolah dan dengan mengangkat kondisi-kondisi yang lebih
berkemanusiaan dan memanusiakan dalam masyarakat secara luas.
2. Tujuan Sekolah
Pelaksanaan pendidikan
menurut KH. Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh.
Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan
ideal pendidikan, baik secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal
(makhluk). Tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia itu
sendiri. Tujuan hidup manusia secara vertikal adalah mencari keridhaan Tuhan.
Menurut KH. Ahmad
Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia
muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang
saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan
sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agama sama sekali.
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan
pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu
agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, KH. Ahmad Dahlan
melakukan dua tindakan sekaligus, yaitu memberi pelajaran agama di
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di
mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Beliau juga berpandangan bahwa
pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mencapai kemajuan materil. Oleh karena itu, pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu
hidup.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam tujuan sekolahnya.
Dimana sifat liberasionisme dalam tujuan sekolah yaitu membantu siswa untuk
mengenal dan menanggapi kebutuhan akan pembaharuan sosial yang perlu. Serta
menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh siswa
supaya bisa belajar sendiri secara efektif.
3. Ciri - Ciri Umum
K.H Ahmad Dahlan
(1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk
menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak
merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato
terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena
menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui
filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan
tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi
adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap
kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap
kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan
dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi
bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada
petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan
adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir
Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia
membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri,
menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model"
dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari
suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi
golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan
paham agama Islam.
Dalam proses pendidikan
harus mampu menghasilkan lulusan dengan kriteria memiliki kepribadian yang
utuh, seimbang antara aspek jasmani dan rohaninya, pengetahuan umum dan
pengetahuan agamanya, duniawi dan ukhrawinya dan memiliki jiwa sosial yang
penuh dedikasi serta bermoral yang bersumber pada al Quran dan Sunnah.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam ciri-ciri umum ideologi
pendidikannya. Dimana salah satu bentuk sifat liberasionisme yang di anutnya
yaitu pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk mendatangkan pembaharuan /
perombakan sosial yang perlu.
4. Anak Sebagai Pelajar
Menurut KH. Ahmad
Dahlan, pendidikan hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia yang
berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan
pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan
tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna
adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum,
material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal
tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Dalam suatu pernyataan yang dikutip dari seorang pembicara
kongres Muhammadiyah tahun 1925, “Bocah-bocah
dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”. Metode pembelajaran yang dikembangkan
Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik
adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara
berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya
kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya.
Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya.
Dari contoh tersebut terlihat bahwa
KH. Ahmad Dahlan memberikan kebebasan siswanya untuk menemukan sendiri makna
yang terkandung dalam materi yang di ajarkanya namun tetap melalui
bimbingannya. Siswa ditempa secara berulang-ulang agar faham secara keseluruhan
karena ia menyadari bahwa setiap siswa memiliki daya nalar yang berbeda-beda.
Dari penjabaran di atas terlihat
bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam indikator anak sebagai pelajar dalam
ideologi pendidikannya. Dimana salah satu bentuk dari sifat liberasionisme
dalam indikator anak sebagai pelajar yaitu anak cenderung untuk menjadi baik
(yakni menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) jika diasuh dalam
masyarakat yang baik (yakni masyarakat yang rasional dan berkemanusiaan).
5. Administrasi dan Pengendalian Pendidikan
Sistem penyelenggaraan dan kurikulum
sekolah Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan memiliki dua perbedaan
mendasar dengan sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya. Dilihat dari
sistem penyelenggaraannya, sekolah tersebut meniru sistem persekolahan model
Belanda. Dalam mengajar beliau menggunakan kapur, papan tulis, meja, kursi, dan
peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah Belanda. Berkaitan dengan langkah
tersebut, beliau berpendapat bahwa untuk memajukan pendidikan diperlukan
cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model
penyelenggaraan sekolah tidak berarti mengabaikan ajaran agama sebab
penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan wilayah muamalah yang harus
ditentukan dan dikembangkan sendiri.
Dalam proses pembelajarannya, KH.
Ahmad Dahlan berpendirian bahwa para guru memegang peranan yang
penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-anak
didik seperti yang dicita-citakan. Yang
penting bagi para guru ialah memahami dan menghayati pelajaran serta ikut beramal sehingga para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dituju dan dicita-citakan. Dengan anggapan bahwa jika gurunya baik maka akan baik
pula siswanya. Karena siswa akan meniru apa yang dikerjakan dan di contohkan
oleh gurunya.
Dari penjabaran di atas terlihat
bahwa KH. Ahmad Dahlan menganut sifat
liberasionisme dalam indikator administrasi dan pengendalian pendidikan. Salah
satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam administrasi dan pengendalian
pendidikan yaitu kewenangan pendidikan
ditanamkan pada minoritas yang tercerahkan yang terdiri dari kaum intelektual
yang bertanggung jawab, yang sepenuhnya menyadari adanya kebutuhan objektif
untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang bersifat membangun, dan yang
mempu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu lewat sekolah-sekolah.
Kewenangan guru didasarkan pada ketajaman inteleknya dan keterlibatannya secara
sosial.
6. Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai
usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan
mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan
akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai
usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian, K.H.Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan
materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut K.H.Ahmad
Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam
pengajian-pengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hajid, salah
seorang muridnya mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul
“Ajaran K.H.A. Dahlan” dan 17 kelompok ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan
catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan menganut sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum. Salah satu bentuk sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum yaitu menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis, berpusat pada pemahaman diri dan tindakan sosial serta menekankan pilihan (pelajaran) dalam batas-batas yang secara umum ditetapkan/baku.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan menganut sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum. Salah satu bentuk sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum yaitu menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis, berpusat pada pemahaman diri dan tindakan sosial serta menekankan pilihan (pelajaran) dalam batas-batas yang secara umum ditetapkan/baku.
7. Mata Pelajaran
Dalam beberapa tulisan, salah satunya Hadjid
(2005:149) merangkum bagian-bagian pelajaran yang dimaksud oleh KH. Ahmad Dahlan yaitu
:
a. Pelajaran pertama: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang manusia itu semuanya mati.
b. Pelajaran kedua: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan diri-sendiri (individual).
c. Pelajaran ketiga: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan.
d. Pelajaran keempat: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu kebenaran.
e. Pelajaran kelima: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang penyucian diri.
f. Pelajaran keenam: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang ikhlas dalam memimpin.
g. Pelajaran ketujuh: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau teori
(belajar ilmu), dan mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal).
Selain itu menurut KH.
Ahmad Dahlan, materi pendidikan adalah al-Quran dan Hadits, membaca, menulis,
berhitung, ilmu bumi, dan menggambar materi al- Quran dan Hadits meliputi
ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan
nasibnya,musyawarah, pembuktian kebenaran al-Quran dan Hadits menurut akal,
kerjasama antara agama – kebudayaan - kemajuan peradaban, hukum kausalitas
perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan
berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia didalamnya dan budi pekerti.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan menganut sifat
liberasionisme dalam mata pelajaran. Salah satu bentuk sifat liberasionisme
dalam mata pelajaran yaitu menekankan problema-problema dan isu-isu sosial yang
kontroversial; menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan pra
anggapan – pra anggapan yang melatarbelakangi kepedulian khusus terhadap
penerapan apa yang dipelajari di kelas dalam kegiatan-kegiatan yang punya arti
sosial penting di luar kelas; secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan
yang berpusat pada problema, antar disiplin keilmuan yang mencakup wilayah
psikologi, filosofi, kesusastraan masa kini, sejarah dan ilmu-ilmu sosial dan
behavioral.
8. Metoda-Metoda Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar
Di dalam menyampaikan
pelajaran agama KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual
tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau
dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
a. Cara
belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogan, madrasah
Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b. Bahan pelajaran di pesantren mengambil
kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya
diambil dari buku-buku umum.
c. Hubungan guru-murid. Di pesantren
hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki
otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai
mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Metode baru yang
diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah mendorong pemahaman Al-Qur’an
dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya jawab dan pembahasan
makna dan ayat tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocah-bocah dimardikaake
pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan yang
dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925, melukiskan
suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme
dalam metode pengajaran dan penilaian hasil belajar. Salah satu bentuk dari
sifat liberasionisme dalam metode
pengajaran dan penilaian hasil belajar yang dianutnya yaitu cenderung ke arah
penekanan yang kurang lebih setara terhadap pemahaman tentang problema
(pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah (penyelesaiannya),
serta memandang guru sebagai model/ panutan tentang komitmen intelektual serta
keterlibatan sosial. Selain itu juga cenderung memandang yang kognitif serta
yang afektif sebagai sebuah aspek dati yang antar pribadi, menekankan landasan
sosial bagi segenap pengalaman personal.
9. Kendali di Ruang Kelas
Muhammadiyah,
berpendirian, bahwa para guru memegang peranan yang penting di sekolah dalam
usaha menghasilkan anak-anak didik seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah.
Yang penting bagi para guru ialah memahami dan menghayati serta ikut beramal
dalam Muhammadiyah. Dengan memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam
Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang
dicita-citakan Muhammadiyah.
Dalam muhammadiyah,
guru menduduki tempat penting, tidak hanya sekadar alat mekanis tanpa
pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan tujuan. Di dalam pengertian Muhammadiyah,
guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi
dan amal pengabdiannya. Perlu diketahui bahwa tujuan Muhammadiyah dalam
lapangan pendidikan yaitu membentuk manusia yang muslim yang cakap, berakhlak
mulia, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Jadi tidak hanya
bertujuan membentuk manusia intelektual saja, tetapi juga manusia muslim,
manusia moralis, dan manusia yang berwatak.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat
liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas. Salah satu bentuk dari
sifat liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas yaitu demokratis
dan objektif dalam menentukan tolak ukur kelakuan, seringkali ingin agar siswa
menentukan tolak ukur kelakuan mereka sendiri dengan bekerja sama dengan guru,
sebagai cara mengembangkan rasa tanggung jawab moral.