Jumat, 10 April 2015

IDEOLOGI PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN

A. Pendahuluan
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pahlawan nasional yang banyak memberikan konstribusi pada dunia pendidikan Islam di Indonesia ini. Ia seorang da’i sekaligus organisatoris Islam yang mampu mewujudkan suatu sistem lembaga Islam yang terpadu yang hasilnya kini dikembangkan terus oleh para generasinya.
Nama Ahmad Dahlan bukanlah nama yang asing dalam dunia pendidikan, ia lebih banyak dikenal orang sebagai pendakwah atau pembaharu sosial budaya di Indonesia. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri, ia telah memberikan nilai-nilai yang berharga pada pendidikan Islam agar dapat selangkah lebih maju dengan orang-orang Eropa, contohnya dengan lahirnya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sampai saat ini tetap exist dan qualified.
Dalam dunia pendidikan, ada beberapa ciri ideologi-ideologi mendasar yang diterapkan oleh KH. Ahmad Dahlan yang mungkin berbeda dengan para tokoh pendidikan lainnya. Berikut ini saya jabarkan sembilan tema mendasar dari ideologi yang digunakan oleh KH. Ahmad Dahlan.

B. Ciri Ideologi Pendidikan KH. Ahmad Dahlan dalam Sembilan Tema Mendasar
1. Tujuan Pendidikan
KH. Ahmad Dahlan berusaha mengembalikan ajaran Isam pada sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Beliau bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, beliau mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia.
KH. Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Beliau berpendapat bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan diakhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seseorang yang berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al Quran dan Hadits. Beliau juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, bahwa pandangan muslim tradisionalis selalu menitikbertakan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Sikap semacam ini mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia Islam, sementara kelompok yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. KH. Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan sistem pendidikan Barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah misionaris maupun pemerintah. KH. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan materil merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteraan mereka akan bisa sejajar dengan kaum kolonial.
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendididkan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang sholeh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya pendidikan model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang di dalamnya tdak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum, dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut, beliau berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh: menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual, serta dunia dan akhirat. Baginya kedua hal tersebut merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa seorang KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikannya. Dinama sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikan yaitu mendorong pembaharuan/ perombakan sosial yang perlu dengan cara memaksimalkan kebebasan personal di sekolah dan dengan mengangkat kondisi-kondisi yang lebih berkemanusiaan dan memanusiakan dalam masyarakat secara luas.

2. Tujuan Sekolah
Pelaksanaan pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan, baik secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (makhluk). Tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri. Tujuan hidup manusia secara vertikal adalah mencari keridhaan Tuhan.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, KH. Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus, yaitu memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Beliau juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam tujuan sekolahnya. Dimana sifat liberasionisme dalam tujuan sekolah yaitu membantu siswa untuk mengenal dan menanggapi kebutuhan akan pembaharuan sosial yang perlu. Serta menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh siswa supaya bisa belajar sendiri secara efektif.

3. Ciri - Ciri Umum
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam.
Dalam proses pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan dengan kriteria memiliki kepribadian yang utuh, seimbang antara aspek jasmani dan rohaninya, pengetahuan umum dan pengetahuan agamanya, duniawi dan ukhrawinya dan memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi serta bermoral yang bersumber pada al Quran dan Sunnah.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam ciri-ciri umum ideologi pendidikannya. Dimana salah satu bentuk sifat liberasionisme yang di anutnya yaitu pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk mendatangkan pembaharuan / perombakan sosial yang perlu.

4. Anak Sebagai Pelajar
            Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.   
Dalam suatu pernyataan yang dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925, Bocah-bocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya.
            Dari contoh tersebut terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memberikan kebebasan siswanya untuk menemukan sendiri makna yang terkandung dalam materi yang di ajarkanya namun tetap melalui bimbingannya. Siswa ditempa secara berulang-ulang agar faham secara keseluruhan karena ia menyadari bahwa setiap siswa memiliki daya nalar yang berbeda-beda.
            Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme  dalam indikator anak sebagai pelajar dalam ideologi pendidikannya. Dimana salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam indikator anak sebagai pelajar yaitu anak cenderung untuk menjadi baik (yakni menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) jika diasuh dalam masyarakat yang baik (yakni masyarakat yang rasional dan berkemanusiaan).
           
5. Administrasi dan Pengendalian Pendidikan
            Sistem penyelenggaraan dan kurikulum sekolah Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan memiliki dua perbedaan mendasar dengan sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya. Dilihat dari sistem penyelenggaraannya, sekolah tersebut meniru sistem persekolahan model Belanda. Dalam mengajar beliau menggunakan kapur, papan tulis, meja, kursi, dan peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah Belanda. Berkaitan dengan langkah tersebut, beliau berpendapat bahwa untuk memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak berarti mengabaikan ajaran agama sebab penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan wilayah muamalah yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri.
            Dalam proses pembelajarannya, KH. Ahmad Dahlan berpendirian bahwa para guru memegang peranan yang penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-anak didik seperti yang dicita-citakan. Yang penting bagi para guru ialah memahami dan menghayati pelajaran serta ikut beramal sehingga para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dituju dan dicita-citakan. Dengan anggapan bahwa jika gurunya baik maka akan baik pula siswanya. Karena siswa akan meniru apa yang dikerjakan dan di contohkan oleh gurunya.
            Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan  menganut sifat liberasionisme dalam indikator administrasi dan pengendalian pendidikan. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam administrasi dan pengendalian pendidikan yaitu  kewenangan pendidikan ditanamkan pada minoritas yang tercerahkan yang terdiri dari kaum intelektual yang bertanggung jawab, yang sepenuhnya menyadari adanya kebutuhan objektif untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang bersifat membangun, dan yang mempu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu lewat sekolah-sekolah. Kewenangan guru didasarkan pada ketajaman inteleknya dan keterlibatannya secara sosial.

6. Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
          KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.   Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.      Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian, K.H.Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut K.H.Ahmad Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajian-pengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hajid, salah seorang muridnya mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran K.H.A. Dahlan” dan 17 kelompok ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan menganut sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum. Salah satu bentuk sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum yaitu menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis, berpusat pada pemahaman diri dan tindakan sosial serta menekankan pilihan (pelajaran) dalam batas-batas yang secara umum ditetapkan/baku.

7. Mata Pelajaran
           Dalam beberapa tulisan, salah satunya Hadjid (2005:149) merangkum bagian-bagian pelajaran yang dimaksud oleh KH. Ahmad Dahlan yaitu :
a.       Pelajaran pertama: mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia itu semuanya mati.
b.    Pelajaran kedua: mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan diri-sendiri (individual).
c.      Pelajaran ketiga: mempelajari tentang perkataan ulama tentang akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan.
d.     Pelajaran keempat: mempelajari tentang perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu kebenaran.
e.       Pelajaran kelima: mempelajari tentang perkataan ulama tentang penyucian diri.
f.        Pelajaran keenam: mempelajari tentang perkataan ulama tentang ikhlas dalam memimpin.
g.    Pelajaran ketujuh: mempelajari tentang perkataan ulama tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau teori (belajar ilmu), dan mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal).
Selain itu menurut KH. Ahmad Dahlan, materi pendidikan adalah al-Quran dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar materi al- Quran dan Hadits meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya,musyawarah, pembuktian kebenaran al-Quran dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama – kebudayaan - kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia didalamnya dan budi pekerti.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan menganut sifat liberasionisme dalam mata pelajaran. Salah satu bentuk sifat liberasionisme dalam mata pelajaran yaitu menekankan problema-problema dan isu-isu sosial yang kontroversial; menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan pra anggapan – pra anggapan yang melatarbelakangi kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di kelas dalam kegiatan-kegiatan yang punya arti sosial penting di luar kelas; secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan yang berpusat pada problema, antar disiplin keilmuan yang mencakup wilayah psikologi, filosofi, kesusastraan masa kini, sejarah dan ilmu-ilmu sosial dan behavioral.
  
8. Metoda-Metoda Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar
           Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
a.  Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b.  Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c.       Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Metode baru yang diterapkan oleh sekolah  Muhammadiyah mendorong pemahaman Al-Qur’an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya jawab dan pembahasan makna dan ayat tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocah-bocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan yang dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925, melukiskan suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam metode pengajaran dan penilaian hasil belajar. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam  metode pengajaran dan penilaian hasil belajar yang dianutnya yaitu cenderung ke arah penekanan yang kurang lebih setara terhadap pemahaman tentang problema (pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah (penyelesaiannya), serta memandang guru sebagai model/ panutan tentang komitmen intelektual serta keterlibatan sosial. Selain itu juga cenderung memandang yang kognitif serta yang afektif sebagai sebuah aspek dati yang antar pribadi, menekankan landasan sosial bagi segenap pengalaman personal.

9. Kendali di Ruang Kelas
            Muhammadiyah, berpendirian, bahwa para guru memegang peranan yang penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-anak didik seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah. Yang penting bagi para guru ialah memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah. Dengan memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Muhammadiyah.
Dalam muhammadiyah, guru menduduki tempat penting, tidak hanya sekadar alat mekanis tanpa pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan tujuan. Di dalam pengertian Muhammadiyah, guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya. Perlu diketahui bahwa tujuan Muhammadiyah dalam lapangan pendidikan yaitu membentuk manusia yang muslim yang cakap, berakhlak mulia, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Jadi tidak hanya bertujuan membentuk manusia intelektual saja, tetapi juga manusia muslim, manusia moralis, dan manusia yang berwatak.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas yaitu demokratis dan objektif dalam menentukan tolak ukur kelakuan, seringkali ingin agar siswa menentukan tolak ukur kelakuan mereka sendiri dengan bekerja sama dengan guru, sebagai cara mengembangkan rasa tanggung jawab moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar